Monday, 7 October 2013

Haruskah Tak Ada Pertemuan?

     Untuk kesekian kalinya aku menatap layar—Hp. Mataku perih;menunggu seseorang yang biasanya mengucapkan “selamat padi dede” atau “sudah jam 12.00 wib nih de waktunya sarapan siang” iya kini ucapan itu sudah lenyap. Aku sadar, pasti kamu mau jauhin aku bukan? Apa namanya  jika bukan “menjauh” jika seseorang sudah tidak memberi kabar? Tidak perhatian lagi? Apakah kamu mau bilang “aku sibuk de?” itukah yang kamu mau jelaskan? Bolehkah aku flashback dulu sebelum kita memutuskan untuk bertemu?
     Ingatkah kamu? Waktu itu kamu sibuk dan lelah dengan semua rutinitasmu, tetapi kamu masih memberi kabar; “de, lagi apa?” atau “aku pulang dulu ya, de”. Kalaupun kamu tak memberi kabar , sepulang rutinitas kamu pasti nelfon walau hanya sebentar.  Ingatkah?
    Kak, aku sangat kangen dengan masa itu. Bolehkah pulang sebentar saja?  Suaramu ingin aku dengar, perhatianmu ingin aku rasakan. Sengaja aku tidak men-delete semua pesanmu yang berujung perhatian;hanya ingin merasakannya. Kak, ini sudah dua minggu lebih kita tak komunikasi. Sadarkah sikapmuini menyiksaku? Sadarkah kamu membunuhku secara perlahan? Memang aku akui, kamu menjauhi aku secara perlahan. Permainanmu sangatlah rapih, tak aku kira kamu sehebat itu memainkannya;sangatlah luar biasa. Tapi maaf untuk kali ini aku bukan wanita yang bisa kamu permainkan dan kamu bodohi.


“Haruskah tak ada pertemuan agar kamu tidak menjauh dariku? Haruskah tak ada pertemuan agar aku bisa merasakan saat-saat perkenalan sebelum adanya pertemuan? Haruskah tak ada pertemuan agar aku tak menilaimu, bahwa kamu memberikan sikap dan senyuman yang aku artikan adalah cinta?”

No comments:

Post a Comment