Aku tak tau harus memulainya
dari mana. Ini begitu cepat terjadi. Mengenalmu adalah sebuah moment yang indah
buat aku. Kamu pria sederhana, tidak mementingkan penampilan lebih tepatnya
kamu bertipe pria cuek, selalu mengenakan kupluk yang terlihat begitu aneh di
mataku, tatapanmu yang begitu tajam dan seyumanmu yang manis. Aaahh, rasanya
aneh jika aku membayangkan pertama kali kita berkenalan sampai akhirnya aku
memperhatikanmu lebih dalam.
Masih ingatkah kamu mas, pertama
kali kita kenal? Mana mungkin kamu ingat mas, bukankah kamu mempunyai sifat
cuek? Pastinya ini pertanyaaan yang
bodoh buatmu dan pertanyaan yang tak butuh di jawab oleh pria sepertimu.
Awalnya aku tak mengira candaan yang memang benar hanya untuk candaan biasa
menjadi awal dimana aku terus mengingatmu.
Hey, pianis bagaimana
kabarmu? Masihkah kau mempertahankan
sifat cuekmu itu hingga sekarang? Semuanya berlalu dengan cepat, tanpa terasa
aku merindukanmu sangat. Begitu banyak perbedaan saat ini. Kita hampir tidak
pernah ketemu padahal kita satu kampus. Dulu, biasanya jam istirahat kita
selalu makan bareng dengan teman yang lainnya, sekarang? Dulu, disaat jam
pulang kampus awal kita selalu jalan-jalan bareng dengan yang lainnya,
sekarang? Walaupun pernah bertemu itu hanya sepintas, tak ada percakapan yang
begitu lama. Bagaimana aku tak merindukan semua itu? Terlebih lagi disaat kamu
memainkan instrument-mu rasanya mata ini dan telinga ini hanya ingin melihatmu
seorang serta hanya ingin mendengarkan sebuah lantunan instrumen dari hatimu
itu.
Tapi aku harus menerima semua
kenyataan itu, bahwa kamu tak ada lagi untukku dan tak ada lagi moment indah
itu semua. Mungkin memang benar, apa yang mereka bilang bahwa aku harus
mengakhirinya sebelum aku terjatuh nantinya. Tak bisakah kamu menyadari semua
sikapku? Tak bisakah sifatmu itu diubah untuk aku seorang? Aah, tapi itu gak
mungkin. Mustahil seorang pria sepertimu melakukannya. Mungkin senderan bahu di
Kereta dan Bioskop hany a menjadi saksi bisu bahwa tak ada yang spesial diantara kita. Bahkan
pulau yang pernah kita kunjungi bersama menjadi saksi pula kebersamaan kita
hanyalah hembusan angin malam yang sangat pilu.
Jangan tanya kenapa, aku bisa
mengingatmu dan memperhatikanmu sedalam itu. Jangan tanya kenapa, yang
seharusnya candaan biasa bisa membuat candaan itu luar biasa di mataku. Jangan tanya
kenapa, aku bisa frontal untuk mengucap “aku kangen”. Jangan tanya kenapa, aku
bisa memberanikan diri untuk berbuat seperti itu semuanya. Jangan. Karena aku
pun tak tau kenapa itu bisa terjadi.